SELAMAT DATANG DI HMI KOMISARIAT BONDOWOSO

SELAMAT DATANG DI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) KOMISARIAT BONDOWOSO

Sunday, October 21, 2012

“TRANSFORMASI PERKADERAN : UPAYA MEMBANGUN KUALITAS KADER SERTA OPTIMALISASI PERAN HMI”


MAKALAH
“TRANSFORMASI PERKADERAN : UPAYA MEMBANGUN KUALITAS KADER SERTA OPTIMALISASI PERAN HMI”
Disusun Oleh :
MASWIJAYA SISWA RAKHMAN

BAB I
PEMDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang.
Tanggal 5 Februari tahun ini, HMI genap berusia 55 tahun. Usia yang cukup tua, dan kalau yang dijadikan ukuran adalah usia manusia, maka tinggal menunggu saja hari-hari terakhir. Apakah HMI juga akan mengalami nasib yang sama?. Yang bisa menjawab adalah orang-orang muda yang ada di HMI sendiri. Bukan dengan sekedar mengatakan ya atau tidak, akan tetapi harus dengan tindakan-tindakan konkret yang akan dijadikan sebagai ukuran oleh publik berkaitan dengan eksistensi HMI.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini terlihat tanda-tanda degradasi yang cukup serius dalam tubuh HMI. Degradasi ini terjadi disegala hal yang dulu menjadi ciri khas HMI sehingga secara kasar dapat dikatakan, saat ini HMI sedang mengalami multi krisis.

Pertama, krisis intelektual. Iklim intelektualisme yang dulu menjadi ciri khas HMI perlahan-lahan mengalami penyurutan. Ini disebabkan, orientasi struktural yang begitu kental di dalam tubuh organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane (Prof. Dr. Alm) tahun 1947 ini. Orientasi yang oleh Jalaluddin Rahmat disebut dengan “need for power” yang tidak hanya muncul setelah mereka menjadi alumni HMI ini telah menyebabkan konflik internal yang tidak kondusif bagi penciptaan iklim intelektual. 

Ditambah lagi, kader-kader yang mempunyai basis intelektual yang biasanya bersikap apolitis terdepak dari struktur kepengurusan HMI. Bukan berarti HMI benar-benar mandul, akan tetapi ini menyebabkan HMI kesulitan untuk melahirkan gagasan-gagasan segar yang muncul dari pisau rasionalitas yang tajam dari kader-kadernya. Akibatnya jelas sangat nampak secara institusional, HMI hanya sibuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri. Kurang lebih tiga puluh tahun pasca pemikiran-pemikiran ideologis yang muncul dari Ahmad Wahib, Djohan Effendy, Dawam Raharjo dan Nur Chalish Madjid, HMI tidak lagi melahirkan pemikir-pemikir yang sekaliber mereka.

Kedua, krisis spiritual. Pemikiran-pemikiran ideologis yang dilontarkan oleh senior-senior HMI di atas ternyata dipahami oleh sebagian besar kader HMI secara distortif sehingga menyebabkan mereka menjadi kader-kader karbitan yang mengabaikan aspek spiritual. Krisis spiritual ini secara bersamaan membuat HMI mengalami krisis identitas. Inilah yang menyebabkan HMI kini mulai ditinggalkan oleh mahasiswa terutama diperguruan tinggi umum yang kebanyakan kebutuhan mereka pada pengalaman spiritual sangat tinggi untuk mengimbangi gencarnya arus modernisasi.

Krisis ini akan berdampak sangat besar bagi moralitas kader-kader HMI. Ini sangat logis karena spiritualitas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap moralitas. Sehingga krisis spiritualitas akan menyebabkan pula terjadinya krisis moralitas.

Ketiga, krisis militansi. Akhir-akhir ini militansi kader HMI juga mengalami krisis yang cukup serius. Memang turunnya nuansa militansi kader HMI masih interpretable. Akan tetapi yang nampak secara sekilas, dalam memberikan respons terhadap kondisi sosial, secara kuantitas HMI tidak seperti dulu dengan jumlah massa kader yang turun sangat besar. Ini disebabkan HMI terlalu lama dimanjakan oleh kondisi yang pernah menguntungkan HMI. Di masa Orde Baru, diakui atau tidak HMI berada di atas angin. Pada saat ini training-training HMI banyak dilakukan di gedung-gedung mewah sehingga kader yang tercetak adalah kader-kader manja tadi.

Efek yang muncul dari kondisi ini adalah tercetaknya kader-kader yang bersikap elitis sehingga tidak mempunyai kepedulian terhadap masyarakat bawah dan lebih sibuk mengurusi persoalan-persoalan elite. Peran HMI dalam pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat sekarang ini tidak pernah kita dengan sama sekali. Padahal dulu, HMI pernah berjuang bahu-membahu dan menyatu dengan rakyat. Akan tetapi mungkin HMI telah melupakan sejarah itu. Padahal justru itulah yang menyebabkan HMI menjadi besar.

Keempat, krisis kader. Secara kuantitas, kalau dibandingkan dengan rasio jumlah mahasiswa sekarang, HMI mengalami penurunan secara drastis. Dulu HMI dapat dikatakan sangat besar karena HMI adalah satu-satunya organisasi kemahasiswaan Islam. Akan tetapi sekarang banyak muncul organisasi kemahasiswaan yang membawa sentimen keislaman. Akan tetapi celakanya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang baru muncul itu lebih menarik mahasiswa sekarang. Akibatnya in put HMI secara kuantitas berkurang cukup drastis. Ini akan berimbas pada out put HMI secara kualitas. Dikatakan demikian karena yang disaring oleh HMI tidak lagi sebanyak dulu. Ini kalau menggunakan logika semakin banyak yang disaring, maka akan semakin banyak yang nyangkut di saringan.

Hal ini disebabkan HMI tidak mampu memberikan wadah penyaluran kader yang sangat banyak masuk setiap tahunnya dengan pluralitas latar belakang mereka. Dengan demikian, banyak mahasiswa yang lebih memilih organisasi yang sejak awal sudah sesuai dengan prinsip yang dipegang atau kultur awalnya.
1.2.      Rumusan Masalah.
a.    Bagaimana HMI di Tengah Gugatan Publik ?
b.   Apa Upaya HMI Dalam Membangun Kualitas Kader ?
c.    Upaya Apa Yang Dilakukan HMI Dalam Penguatan Militansi Ideologis Kader ?
d.   Bagaimana Aktualisasi Dan Peran HMI Di Masa Mentang ?
1.3.      Tujuan.
a.    Upaya dalam membangun kualitas kader
b.   Optimalisasi peran kader HMI
c.    Memudahkan kader HMI untuk memahami peran satrategis HMI di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      HMI di Tengah Gugatan Publik.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari tahun ini genap berusia 55 tahun. Dalam usianya yang setengah abad lebih itu, sangat wajar kalau HMI telah menghasilkan kader-kader yang menggurita dan mengambil peran strategis di hampir setiap --untuk tidak mengatakan seluruh-- lini kehidupan. Terlebih mengingat sampai pada akhir tahun lima puluhan, HMI adalah organisasi kemahasiswaan Islam satu-satunya. Sehingga mahasiswa Islam yang mempunyai interest dalam perjuangan melalui organisasi kemahasiswaan Islam, dapat dipastikan akan bergabung dengan HMI.

Akan tetapi dalam usianya yang berkepala lima ini, HMI menuai banyak kritik bahkan gugatan atau lebih kasar lagi adalah hujatan dari sebagian masyarakat (publik). Sebagai sebuah contoh yang sederhana dan masih segar dalam ingatan kita adalah ketika terjadi suasana dukung mendukung tokoh politik nasional beberapa waktu lalu. Kepanjangan HMI yang seharusnya adalah “Himpunan Mahasiswa Islam” diplesetkan menjadi “Himpunan Mahasiswa Iblis” dan beberapa kantor cabang di Jawa Timur di bakar massa. Bahkan tak jarang HMI mendapatkan kritik-kritik dengan ekspresi cukup sinis dari orang-orang yang dulu pernah berkiprah di dalamnya karena melihat kondisi HMI yang sangat berbeda dengan ketika mereka masih di dalamnya.

Walaupun hujatan itu lebih terkesan karena luapan emosional sesaat, akan tetapi perlu mendapatkan catatan tersendiri dari HMI untuk segera melakukan introspeksi. Hal itu mutlak harus dilakukan HMI kalau HMI tidak ingin tercerabut dari akarnya atau meranggas untuk kemudian mati.

Ada beberapa hal yang saat ini menjadi sorotan publik dan harus segera mendapatkan perhatian serius dari HMI. Pertama, stigma Orde Baru yang melekat kuat pada HMI. Semua orang tahu bahwa HMI adalah pelopor dan pejuang kemunculan Orde Baru. Walaupun memang, pada awalnya Orde Baru mempunyai artian dan konteks yang positif, yaitu sebuah  upaya untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, orientasi tersebut pada perjalanan selanjutnya melenceng jauh dari rel dan dianggap telah mengantarkan bangsa ini ke dalam jurang kebangkrutan yang sampai saat ini belum juga teratasi.

Stigma ini semakin kuat, karena pada masa Orde Baru terutama pada dekade terakhir menjelang keruntuhannya, banyak kader HMI yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Memang tidak fair mensimplifikasikan HMI yang sedemikian besar hanya dengan orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaan mengingat jumlah anggota HMI yang sangat banyak. Akan tetapi, hal ini cukup bisa dipahami karena di sanalah “sebagian sangat kecil” dari mantan-mantan aktivis HMI itu melakukan “peranan yang sangat besar” dalam menentukan arah gerak bangsa ini dengan policy yang ada di tangan mereka. Karena itu, HMI tidak boleh menolak mentah-mentah kalau dikatakan sebagai anak kandung Orde Baru dan seharusnya tetap melakukan refleksi dari gugatan-gugatan yang dialamatkan kepadanya.

Kedua, HMI cenderung elitis dan tidak merakyat. Pada masa-masa mudanya, HMI benar-benar sebuah organisasi yang mempunyai semangat besar dalam memperjuangkan rakyat kecil. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia dan pada tahun 1965 ketika terjadi pengkhianatan oleh PKI misalnya, HMI berjuang dan bahu membahu bersama rakyat. Akan tetapi, kekuasaan telah berhasil menggoda HMI dan membuat orientasi kerakyatannya menjadi semakin menipis dan bahkan menghilang. HMI hanya sibuk mengurusi persoalan-persoalan elite dan melupakan rakyat yang dulu pernah bersama-sama dengannya. Jarang sekali HMI terlihat kepeduliannya dalam upaya memberdayakan masyarakat.

Ketiga, format perkaderan HMI mengalami stagnasi yang sangat serius. Dari dulu sampai sekarang format perkaderan HMI tidak ada perubahan signifikan. Pada tahun enam puluhan format perkaderan atau training-training di HMI mungkin adalah yang the best of the best. Akan tetapi ketika perubahan yang terjadi selama sekian puluh tahun terjadi sedemikian gencar, HMI nampak tergagap-gagap karena sudah jauh ketinggalan dengan pola-pola training yang digunakan oleh LSM-LSM baru yang sudah mengambil spesialisasi dan mengelolanya secara lebih proseional. Apabila disejajarkan dengan LSM-LSM baru tersebut, HMI terkesan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi realitas sosial yang terjadi sekarang ini. Karena itu format perkaderan yang hanya cocok diterapkan pada tahun enam puluhan itu harus segera dirubah dengan mencari pola baru yang lebih sesuai dan dibutuhkan saat ini.

Keempat, HMI tidak mampu memenuhi student needs. Banyak mahasiswa  baru yang mengenal nama HMI dari buku-buku sejarah, berharap banyak bahwa dia akan mendapatkan sesuatu dari HMI terutama berkaitan dengan spesialisasi yang diambilnya. Akan tetapi ternyata mereka harus kecewa karena HMI tidak mampu memberikan apa yang mereka harapkan itu.

Kelima, HMI kehilangan cirinya sebagai organisasi kader intelektual. Ini disebabkan oleh budaya yang mengarah kepada pembangunan kognitif kader yang secara lambat tapi pasti selalu mengalami degradasi yang cukup drastis. Mereka hanya disibukkan dengan rutinitas organisasi atau bahkan lebih parah lagi disibukkan oleh konflik internal organisasi yang kontraproduktif dan hanya buang-buang energi saja. Di tambah lagi, HMI terlalu bangga mempunyai tokoh-tokoh intelektual masa lalu sekaliber Nur Chalis Madjid, Djohan Efendi, Dawam Raharjo, Azumardy Azra dan beberapa cendekiawam muslim yang nota benenya pernah berproses di HMI kemudian melupakan bahwa di masa depan HMI harus juga menyiapkan kader-kader mumpuni seperti mereka karena orang-orang yang dibanggakan tersebut toh adalah manusia biasa yang sewaktu-waktu bisa meninggalkan dunia ini.

Keenam, HMI kering spiritual. HMI memang adalah sebuah organisasi yang tidak pernah mendoktrin anggotanya untuk memahami agama secara monolitik dan menajarkan mereka untuk berfikir dekonstruktif untuk mengarahkan kader pada sikap inklusif. Ini adalah sesuatu yang positif. Akan tetapi ide-ide dekonstruktif itu kemudian menyebabkan mereka menjadi kehilangan identitas yang mengarah kepada keringnya spiritualitas anggota HMI. Inilah yang menyebabkan HMI tidak begitu diminati oleh mahasiswa di perguruan tinggi umum yang sangat membutuhkan spiritualitas sebagai penyeimbang terhadap teori-teori modern yang mengarah pada relatifitas nilai sehingga membuat mereka kebingungan. HMI juga nampak tidak mau lagi untuk mengurusi mahasiswa yang baru tertarik untuk memahami Islam sehingga mereka kemudian lebih memilih organisasi yang lain.

2.2.      Membangun Kualitas Kader.
Urgensi pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia merupakan sebuah keniscayaan dalam konteks pembangunan nasional. Sebab, hanya dengan sumber daya manusia yang unggul komitmen pembangunan dapat dilaksanakan sehingga membuahkan hasil yang maksimal. Hal inilah yang mutlak dikedepankan mengingat adanya sebagian 'prestasi' miring bangsa ini.

Faktor inovasi dan kreativitas SDM berkontribusi sebesar 45% dalam keunggulan sebuah negara, demikian hasil survey Bank Dunia. Berturut-turut berikutnya adalah networking 25%, teknologi 20%, dan sumber daya alam (SDA) hanya 10%. Sehingga, kini tidak zamannya lagi mempunyai SDA yang besar tanpa adanya faktor SDM yang unggul. Sebab, hal itu sangat minim kontribusinya dalam peningkatan daya keunggulan suatu negara. Yang diperlukan kualitas SDM. Atas dasar realitas tersebut, sejak dini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dilahirkan pada tahun 1947 di Yogyakarta telah menggagas urgensitas 'terwujudnya Insan Cita' yang dikontribusikan untuk pembangunan nasional. Dengan keterwujudan ini, maka kualitas bangsa akan semakin meningkat. Hal inilah yang harus selalu menjadi bagian terdepan dalam pembangunan SDM.

2.2.1.Menegaskan OrganisasiPerkaderan.
Menyimak kondisi yang sedemikian, HMI harus tetap mengambil peran sebagai organisasi perkaderan. Sebagai organisasi yang memfungsikan diri sebagai organisasi kader, maka setiap gerak langkah organisasi harus dilaksanakan dalam rangka memberdayakan para anggotanya yang secara implisit menjadi bagian yang harus dikader. Untuk menegaskan pemahaman kader HMI, diperlukan eksplanasi internal organisasi yang mendalam. Secara simultan organisasi bertanggung jawab terhadap pemahaman kepada para anggota. Dengan demikian, secara fungsional-organsisasi, orang yang dipercaya sebagai pengurus dalam level manapun (komisariat, korkom, cabang, badko, maupun pengurus besar) harus dapat memainkan peran ini.

Hal ini mendasari bahwa setiap kader HMI harus merasakan dirinya sebagai bagian dari kader HMI secara khusus, dan kader bangsa Indonesia secara umum. Hal ini harus menjadi kesadaran kolektif seluruh aktivis HMI. Kesadaran inilah yang dapat membuat nilai plus bagi diri kader HMI, ansich. Sebab, HMI juga tidak pernah memaksakan anggotanya untuk berproses. Hanya kesadaran dan panggilan intelektual seseorang kader harus berproses dalam menggeluti realitas sosial di tengah masyarakat. Dengan begitu, perkaderan dimulai dari dalam diri sendiri. Sebab, siapa pun tidak dapat mengubah diri pribadi tanpa ada kemauan dan kesadaran pribadi yang bersangkutan. Inilah yang tetap menjadi fondasi, dan harus dipahami ketika seseorang tertarik untuk bergabung dalam gerbong panjang peretas sejarah yang bernama HMI. Tanpa kesadaran seperti ini, HMI tidak akan banyak membantu individu untuk menjadi kader bangsa yang mempunyai nilai plus.

2.2.2.Implikasi Organisasi Perkaderan.
Sebagai kader HMI, harus peduli terhadap nilai-nilai intelektual yang dapat mengkristal dalam dirinya untuk peningkatan kualitas dirinya. Penajaman nilai-nilai intelektual merupakan bagian terdepan yang harus dilakukan secara bersamaan dengan kemajuan akademik di bangku perkuliahan. Sebab, ada satu-dua kader yang secara intelektual dapat dikategorikan lebih di atas rata-rata tetapi tidak tuntas dalam perkuliahan. Hal itu ada dan dialami oleh mahasiswa pada berbagai organisasi; tidak menutup kemungkinan juga dari kader HMI. Realitas yang sedemikian tervirtualisasi dengan nyata. Dan hal ini merupakan sebuah tragedi intelektual. Sebab, jika hanya mengikuti bangku perkuliahan, dengan kapasitas intelektual yang standar, seseorang dimungkinkan dapat menyelesaikan perkuliahannya. Tetapi realitasnya tidak demikian.

Sebagian di antara mereka tidak selesai perkuliahannya. Hal ini menjadi pelajaran yang  berharga bagi seluruh kader bangsa, tidak hanya kader HMI. Sejalan dengan itu, sebagai organisasi kader, HMI juga bertanggung jawab terhadap kematangan sosial anggotanya. Hal ini mengharuskan kader HMI tidak hanya semata-mata tertuju pada bangku perkuliahannya. Tetapi harus mempunyai kepekaan yang luwes terhadap fenomena sosial. Sebab, fenomena dan fakta sosial juga dapat memberi bahan masukan (baca : bahan pelajaran) yang berharga dalam peningkatan kualitas SDM. Hal inilah yang diperlukan dalam memberdayakan kualitas kader.

2.2.3.Pembinaan Internalisasi Organisasi.
Kebesaran sebuah organisasi dimulai dari kesadaran seluruh anggotanya secara internal. Kesadaran untuk membesarkan organisasinya menjadi energi yang pertama dan utama yang harus dimiliki seluruh anggota. Sehingga, adalah sangat mustahil untuk membesarkan organisasi jika kesadaran anggota sangat minim. Pembinaan internalisasi organisasi yang dilakukan merupakan bagian terdepan yang menjadi perhatian penting. Pembinaan yang dilakuan berdasarkan pada konstitusi organisasi yang bersangkutan. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Pedoman Pokok Organisasi, dan Pedoman Perkaderan HMI merupakan sebagian kecil panduan yang menjadi rambu acuan organisasi. Hanya dengan tetap berpegang teguh dan mengimplementasikannya, roda organisasi dapat berjalan dengan baik, lancar, dan berkesinambungan. Itulah yang semestinya dilaksanakan seluruh aktivis HMI.

Sejalan dengan perkembangan terkini, menjelang Pilgubsu pada 16 April 2008  HMI juga harus dapat memainkan. Diperlukan sikap positif dalam rangkaian menyukseskan pesta politik yang khas Sumatera Utara. Dengan dihadapkan pada pilihan yang ada, para calon Gubsu/Cawagubsu, HMI harus dapat menentukan sikap. Untuk dukung-mendukung pada salah satu pasangan Gubsu/Cawagubsu adalah bentuk pelanggaran etika intelektual keorganisasian. Hal itu sangat dilarang secara etika organisasi. Sebab, HMI tidak membenarkan untuk berada pada blok-blok tertentu. HMI milik umat, bangsa, dan negara. Dengan begitu, kepentingannya juga dalam rangka kepentingan umat, bangsa, dan negara. Ketika umat tersebut termanifestasi dalam bentuk yang sangat jamak, maka HMI tidak boleh masuk ke dalam wilayah tersebut. Jika hal itu dilakukan, maka kader HMI telah melukai bahagian umat yang lain. Sangat tidak diharapkan yang sedemikian.

2.2.4.Konsolidasi Internal dan Eksternal Organisasi.
Setelah perbaikan sistem perkaderan maka hal lain yang juga penting adalah  konsolidasi. Konsolidasi sangat diperlukan untuk mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki.  Pada prinsipnya tugas pokok organisasi ada dua yaitu pertama mengumpulkan kekuatan dan yang kedua menggunakan kekuatan itu sendiri.

Untuk mengumpulkan kekuatan tersebut ada lima cara yang harus diupayakan oleh sebuah organisasi :
1.   Memelihara dan menciptakan sumber potensi
2.   Mengolah sumber potensi menjadi potensi
3.   Mengolah potensi menjadi kekuatan
4.   Memelihara dan mempertinggi kualitas kekuatan
5.   Menyediakan kekuatan setiap waktu diperlukan organisasi, sehingga mejadi kekuatan yang siap pakai

Berdasarkan sejarah HMI, kelima hal tersebut sudah penah dilakukan dan terus berulang kembali sehingga menemukan titik kesempurnaan nantinya. Namun sayangnya, kelima hal tersebut semakin lama semakin tidak dapat dipenuhi. Jika pun terpenuhi mungkin hanya untuk para orang saja dan tidak bisa dilembagakan.
Oleh sebab itu, perlu adanya evaluasi yang mendalam. Salah satu bentuk evaluasi yang bagus adalah melaksanakan konsolidasi secara nasional. Organisasi HMI merupakan organisasi yang besar, sehingga untuk menanganinya harus dilakukan secara bersama dan bukan hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Konsolidasi dapat memberikan efek positif yang antara lain :
1.   Komunikasi yang lancar
ü  Kinerja organisasi tidak bermanfaat pada tahap realisasi jika komunikasi tersumbat. Komunikasi merupakan untur yang penting dalam membangun kesolidan antara sesama pengurus dan antara pengurus dengan pengurus cabang yang lain se – Indonesia. Sehebat apapun pengurusnya jika kemampuan untuk membangun komunikasi tidak mendapat perhatian maka jadilah progaram kerja itu hanya di konsumsi oleh pengurus saja. Sehingga manfaat program kerja yang baik itu tidak sampai kepada para anggota lainnya.
ü  Dengan komunikasi organisasi akan dapat menempatkan HMI sebagai wadah dalam mewujudkan perubahan yang dicita-citakan HMI itu sendiri. Keuntungan lainnya, dengan komunikasi organisasi yang baik, akan melahirkan jejaring simpul yang akan bermanfaat nantinya bila saatnya akan diperlukan.
2.   Solidarity Making
Konsolidai yang efektif akan menimbulkan perasaan kekuatan bersama. Kesepahaman dalam menjalankan organisasi mencegah dari konflik yang berkepanjangan. Karena konsolidasi (jejaring) yang dibangun akan merupakan kekuatan yang tersembunyi. pada saatnya nanti, akan ada momentum yang membuka peluang untuk bergabungnya antar ekstra organisasi.
3.   Memberikan Kemudahan dalam Instruksi Organisasi
HMI merupakan organisasi yang memiliki hirarki struktural organisasi yang dimulai dari paling tinggi ke yang rendah yaitu PB HMI, Badko, Cabang, hingga Komisariat. Struktural organisasi yang rapi dan terkordinasi akan sangat mudah untuk di mobilisasi terutama untuk menjalankan kebijakan program dari Pengurus Pusat yang dalam hal ini PB HMI. Dengan konsolidasi yang baik akan menyebabkan instruksi-instruksi yang diberikan akan bisa dipahami dan dilaksanakan oleh anggota.
4.   Memeperkuat Basis Massa
Siapapun tidak bisa menyangkalnya bahwa kekuatan riil di HMI adalah ditingkat komisariat. Peran penting dari kesolidan yang dibangun oleh pengurus ditingkat cabang, Badko dan PB HMI sangat diperlukan untuk membentuk sebuah basis massa yang riil dan bisa dimanfaatkan untuk tujuan ke-ummatan. HMI merupakan organisasi kader yang membutuhkan lingkungan yang progresif dan simultan dalam beraktivitas. Memberikan ruang yang cukup untuk beraktualisasi di HMI akan meningkatkan rasa persaudaran sesama kader. Sehingga akan membentuk basis massa yang siap untuk berkarya sebagai Insan Cita Akademis.
2.2.5.Penyebaran Kader di Kampus
Hal yang terlupakan bagi anggota, aktivis, kader HMI sekarang ini adalah bahwa kampus tidak menjadi basis gerakan dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu unsur dari HMI yang merupakan elan vitalnya HMI yakni Mahasiswa. Mahasiswa diidentikkan dengan kampus. Selama kampus hanya menjadi lahan garapan organisasi lain, selama itu juga HMI akan ditinggalkan oleh Mahasiswa . HMI sudah tidak menarik lagi bagi mahasiswa. Disinilah perlu dipikirkan kenapa hal ini bisa terjadi?
Sekarang ini, hampir diseluruh Indonesia, kekuatan kampus baik dari segi struktural kampus dan juga basis massa yang solid sudah dimiliki oleh organisasi lain non HMI. Efek dari perubahan ini, setiap pelaksanaan kegiatan yang berbau HMI sudah tidak menjadi penting bagi mahasiswa dan juga masyarakat luas.
Penyebaran kader HMI di Kampus apalagi di dalam struktural kampus yang strategis merupakan strategi organisasi dalam melakukan pengembangan organisasi yang terorganisir dengan basis massa yang riil. Tetapi harus ada kesepakatan diantara para aktivis HMI bahwa yang berhak menduduki pucuk pimpinan startegis di kampus harus tetap berlandaskan nilai-nilai yang baik dan benar. Sehingga pada saat santinya pemimpin yang diajukan tidak membawa keburukan bagi HMI sendiri.
2.3.      Penguatan Militansi Ideologis Kader
Secara harfiah (etimologi) makna Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur mengenai bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; asas haluan; pandangan hidup dunia (world view). Lebih jauh dalam kaitannya dengan konsepsi ke-HMI-an ideologi itu kemudian termaktub dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, tanpa kemudian memposisikan NDP sebagai ideologi HMI. Secara mendasar ideologi HMI terarah pada hubungan relasional antara aspek normatif doktrin HMI yaitu, Beriman, Berilmu dan Beramal. Sehingga konklusi dari interpretasi tersebut diatas secara sederhana akan menemukan eksistensinya dalam tri komiteman HMI (Keislaman, Keindonesiaan dan Kemahasiswaan). Obyektifikasi dari eksistensi ideologis diatas kemudian terarah pada cita-cita HMI dalam misi organisasi (Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT).

Di dalam komitmen Keislaman tersurat suatu kesetiaan untuk menjadikan Islam sebagai cara pandang sekaligus dasar perjuangan, dalam komitmen Kemahasiswaan tersurat suatu cita-cita adanya pengarus utamaan keilmuan di dalam gerakan HMI, sedangkan komitmen Keindonesiaan adalah etos pengintegrasian dari semangat pluralistik masyarakat Indonesia. Hal inilah secara sederhana menjadi tonggak dari karakteristik HMI dalam pergulatannya dengan berbagai organisasi kemahasiswaan yang lain.
Jika HMI Komisariat Bondowoso adalah bagian integral dari HMI secara keseluruhan, maka semangat ideologi harus pula secara integral terkoneksi dengan seluruh elemen komisariat yang ada di bawah naungan HMI. Hal ini bukanlah sebuah penyeragaman pemahaman namun lebih pada ikhtiar pengayaan khasanah Keislaman-Keindonesiaan yang terwadahi oleh organisasi yang bernama HMI. Maka makna ideologi yang tepat untuk kita gunakan dalam hal ini harus memuat konsep, sikap dan aksi. Secara ekplisit melalui ruang dialog arah perjuangan ini konsep akan dijabarkan pada muatan arah perjuangan, sedangkan sikap adalah independensi etis kader yang teraktualisasi dalam independensi organisatoris, kemudian pola aksi secara sistematis akan termaktub dalam rumusan GBPK dan Rekomendasi.

Gerakan Pengetahuan itu adalah pola aksi dari kekuatan ideologis yang ada di HMI, aspek kekuatan pengamalan akan menemukan eksistensinya ketika berhadapan dengan rutinitas kerja organisasi di tingkat komisariat. Hal ini yang membuktikan bahwa kekuatan Ideologi sangat menentukan guna menetukan haluan konsep yang akan dirumuskan sehingga realisasinya nanti akan sesuai dengan perumusan awal dari konsep tersebut. Kendala komisariat saat ini terletak pada kekuatan infrastruktur yang sangat lemah. Secara konsep terkadang agenda begitu rigit dan sistematis namun kita begitu sulit mengaktualisasikannya oleh karena infrastruktur pengurus dan anggota kurang memiliki militansi. Untuk itu rumusan arah perjuangan ini harus betul-betul menjadi sebuah pengawal bagi berjalannya roda organisasi satu tahun kepengurusan kedepan. Gerakan Pengetahuan HMI Gerakan pengetahuan pada dasarnya adalah sebuah ruang dimana ekspresi intelektual akan menemukan wadah yang secara aspiratif bisa menjadi alternatif dari pengayaan disiplin ilmu yang digeluti oleh masing-masing kita. Sebuah pengetahuan yang memiliki daya ubah dalam dimensi kemasyarakatan, pengetahuan yang menggerakkan serta tidak hanya bersifat normatif namun ada sebuah rekayasa sosial dalam sekian banyak aktifitasnya. Cita-cita ini pada dasarnya bertumpu pada ilmu pengetahuan sehingga peran generasi muda sangat memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam upaya pencapaiannya. Bagaimana dengan Indonesia kita? Sejarah lahirnya Negara bangsa ini awalnya hanya berupa ide dan gagasan yang didiskusikan dan dipikirkan oleh para mahasiswa baik mereka yang belajar di Hindia Belanda maupun mereka yang meuntut ilmu di Nedherlend. Pembacaan terhadap praktek kolonialisme yang sangat tidak adil dan menyengsarakan rakyat memantik pikiran mereka untuk mewacanakan isu tentang kemerdekaan. Ide itu terus bergulir, membesar, dan disambut mereka yang akhirnya sadar bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang harus direbut. Dimasa demokrasi terpimpin perubahan sistem pemerintahan berkali-kali merupakan eksperimentasi untuk mencari bentuk yang paling tepat bagi Indonesia dimasa depan. Sejarah daya ubah pengetahuan tidak berhenti sampai disitu saja. Pada dasawarsa 1960-an kelompok diskusi kecil yang dibawah bimbingan Mukti Ali bersama beberapa mahasiswa menggagas pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang lebih memberikan ruang lebar bagi ummat Islam untuk berperan aktif mewujudkan kondisi bangsa yang lebih baik. Pemikiran anak-anak muda itu banyak menerima cemooh, hujatan dan ancaman dari mereka yang merasa bahwa bangunan pengetahuannya terancam. Tetapi pikiran dan pengetahuan yang mereka suarakan itu tidak mati melainkan terus hidup dan menemukan momentumnya. Kini pikiran itu justru dijadikan sebagai landasan pijak untuk memperjuangkan umat Islam Indonesia. Apa yang menjadi pemikiran mereka terus hidup hingga hari ini, dibicarakan, didiskusikan dan dikembangkan. Sebab itulah dalam Al-Qur’an Allah SWT bewrfirman “yarfa’illahul al-lazina amanu minkum wa al-lazina utu al-ilma darajaat” artinya; Allah akan mengangkat derajat mereka yang beriman dan mereka yang berpengetahuan. Dan “katakanlah, apa sama orang yang berpengetahuan dan yang tidak berpengetahuan”. Begitu juga dengan Hadis Nabi “Orang yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah orang yang berpengetahuan dan melakukan jihad”. Nah, pertanyaannya kemudian adalah, syarat-syarat apa saja yang diperlukan oleh sebuah pengetahuan agar memiliki daya ubah? Apakah semua pengetahuan meiliki daya ubah? Pengetahuan yang berdaya ubah adalah pengetahuan yang memiliki pengaruh terhadap subyek diluar dirinya. Subyek itu tentu saja beragam bentuknya, bisa mencakup individu, institusi, sistem, dan cakupan yang lebih luas lagi yaitu kultur masyarakat secara keseluruhan.
Ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayatNya (qouliyah dan kauniyah) memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaiutu keingintahuan (curiosity) terhadap segala realitas (realita). Menurut Ibnu Khaldun ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’I (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Diterimanaya pengetahuan oleh seseorang mensyaratkan beberapa hal mendasar. Sejalan dengan ilmu pengetahuan yang melandaskan dirinya pada pengetahuan modern, maka pengetahuan itu harus seturut dengan postulat-postulat dan prinsip-prinsip ilmu modern. Ilmu kontemporer yang kini diakui sebagai pengetahuan itu dalam dunia akademis disebut dengan “ilmiah”. Ilmiah berarti mengikuti prasyarat-prasyarat akademis untuk dapat diterima sebagai pengetahuan yang benar secara akademis. Syarat akademis itu adalah rasional, obyektif, sistematis, logis dan konsisten. Tetapi ketika masih berbentuk wacana biasa maka syarat-syarat ini tidak berlaku secara ketat. Ia hanya dibutuhkan ketika pengetahuan itu masuk ke dalam dunia akademis dan masyarakat luas.
Pada dasarnya pengetahuan itu beresonasi atau menyentuh kondisi-kondisi obyektif yang terjadi dan dirasakan banyak orang. Sehingga pengetahuan ini memiliki daya panggil dan muatan perwakilan terhadap mereka yang mengalami kondisi obyektif itu sendiri. Dengan demikian maka pengetahuan itu akan membangkitkan pengaruh luas yang dirasakan masyarakat. Jika pengetahuan itu tidak berangkat dari kenyataan yang sesungguhnya maka ia hanya akan menjadi wacana elit yang dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja karena tidak dapat dipahami dan dicerna oleh kalangan terbatas awam.
Hakekat dari gerakan intelektual adalah secara terus menerus melakukan apa yang diistilahkan dengan pengelolaan pengetahuan sebagai basis kuasa. Kewibawaan sebuah institusi pendidikan modern sekarang bukan lagi hanya terletak pada jumlah kuantitatif mahasiswanya yang banyak tetapi sejauh mana ia mampu mewarnai dan memberi arah pada perubahan itu sendiri. Pengelolaan pengetahuan itu hendaknya menjadi filosofi yang mendasari proses pendidikan Islam, baik pendidikan formal maupun pendidikan yang dilakukan pada level struktur pendidikan itu sendiri. Disinilah peran penting sturktur pendidikan yang diharuskan mampu menjadi supporting sistem menciptakan kondisi yang baik bagi berjalannya proses pengelolaan pengetahuan itu sendiri. Pengelolaan pengetahuan merupakan siklus hidup kerja-kerja intelektual seoarang mahasiswa yang konsisten dalam menguji pengetahuannya sendiri dengan realitas empirik yang nyata.
Militansi Ideologis Kader. Jika dilihat dari pemilahan gerakan sosial (social movement) versi Turner dan Killian dalam “Collective Behavior” (value oriented movement, power oriented movement, participation oriented movement) nampak sekilas HMI (Bondowoso) berkecendrungan merapatkan barisan pada level value oriented movement (gerakan yang berorientasi nilai). Pangkal soalnya adalah HMI merupakan sebuah organisasi kader yang secara khusus memiliki sistem perkaderan sendiri, yang secara eksplisit termaktub dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP). Berkenaan dengan format sistematisasi nilai ini Imanuddin Abdurrahim mengenai “Islam Sebagai sistem Nilai Terpadu” (Imanuddin adalah salah seorang dari tim perumus NDP HMI berbarengan dengan Cak Nur, Endang Saefuddin Ansori dll). Maksudnya bahwa elemen-elemen yang mendasari sistem nilai yang dianut HMI secara sepihak juga kental dengan semangat liberasi dan disisi lain juga kental dengan Wahabian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa nuansa pluralistik itu ada di HMI. Komitmen Keislaman, Keindonesiaan dan Kemahasiswaan, harus menjadi perhatian khusus bagi HMI Bondowoso. Jika masalah tri komitmen ini dapat dijalankan dengan baik maka masalah yang sekarang sering sekali muncul, sedikit banyak akan mampu terangkat. Masalah kualitas dan kuantitas kader setidaknya akan teratasi jika kader HMI mampu menjadi kiblat baik ditingkat kampus atau ranah sosial masyarakat. Dengan begitu HMI Bondowoso mampu menunjukkan taringnya dengan bukan hanya berbicara tentang kondisi ideal saja namun dapat menunjukkan wujud idealisme ke-HMI-annya sebagai karakter tiap kader.

Dengan pengaktualisasian tri komitmen HMI yang berdasar dari kesadaran mendalam untuk membangun HMI ditengah tantangan zamannya. Syarat utama untuk mengaktualisasikan tri komitmen HMI ini adalah kedewasaan serta kemampuan pengorganisiran anggota untuk menghadapi setiap tantangan dari perbedaan yang majemuk. Penguatan dan penghayatan komitmen HMI merupan bagian dari pola ideologisasi yang dilakukan secara terus-menerus, karena HMI adalah organisasi kader dan wadah perjuangan.
Aspek militansi ideologis secara pengertian memiliki makna semangat kenabiat yang memiliki landasan dan tujuan, sehingga aspek ini merupakan sebuah kunci untuk menjadikan komisariat sebagai ruang belajar alternatif dan ruang berjuang. Hal ini membutuhkan sebuah proses kaderisasi yang tidak sederhana, sehingga peran pengurus betul-betul sangat menentukan guna menopang pembentukan kader yang memiliki semangat kenabian itu tadi. Merupakan sebuah keharusan bagi pengurus komisariat untuk terus memupuk dan memberikan motifasi kepada anggotanya.

2.4.      Aktualisasi Dan Peran HMI Di Masa Mentang
2.4.1.Aktualisasi Peran HMI.
Kehadiran dan keberadaan HMI, selain berfungsi sebagai organisasi kader, juga berperan sebagai organisasi perjuangan yang dengan kesungguhan berjuang untuk melakukan perubahan terhadap segala tatanan yang tidak memenuhi tuntunan kontemporer, sehingga tercipta suasana baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka sepanjang keberadaan HMI, tugasnya adalah untuk melakukan perombakan, perubahan, perbaikan, penyempurnaan terhadap segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kearah yang lebih baik dan sempurna dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan tugas-tugas mulia dan luhur itulah diperlukan kerja yang terorganisir, sistematis, tekun, kerja keras sungguh-sungguh dengan niat ikhlas dengan semangat militansi yang tinggi.

Secara kualitatif, kader memiliki mutu, kesanggupan bekerja dan berkorban yang lebih besar dari pada anggota biasa. Dalam pemantapan kekaderan HMI ditambah suatu kenyataan bangsa indonesia sangat kekurangan akan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang padu antara pemenuhan tugas dunia dan ukhrawi, ilmu dan iman, individu dan masyarakat, serta tuntutan akan peranan kaum intelektual yang kian besar dimassa mendatang, dalam peran dan fungsinya HMI sebagai organisasi kader harus mampu mengkader mahasiswa yang tidak krisis integritas serta pribadi yang tangguh tidak terjebak dalam jaman era medernisasi. Dengan begitu kader HMI mampu melawan semuanya dengan keyakinan dan keimanan yang mantap yang menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang melaksanakan tugas-tugas kerja manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia. Karena itu, hari depan HMI luas dan gemilang sesuai dengan peran dan fungsinya dimasa kini dan mendatang, menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang.

2.4.2. Peran strategis bagi HMI di masa mendatang.
Dalam upaya membangun dan menyiapkan sumber daya manusia berkualitas, terutama dalam menghadapi abad ke-21 ini, perguruan tinggi mempunyai perananyang amat strategis. Berarti peran dari segenap sivitas akademika, dan berarti pula paramahasiswanya. Dengan demikian, peran dan kiprah HMI akan senantiasa relevan di masa depan bila ia memusatkan perhatian pada upaya membangun sumber daya manusia berkualitas, yang dibutuhkan dalam pembangunan di abad ke-21. Dalam perspektif demikian, ada beberapa harapansaya terhadap HMI dan perannya di masa depan.

1.   Memperkuat Basis Komunitas Intelektual
Peran strategis HMI yang diharapkan adalah sebagai wahana pembinaan mahasiswa, yang bertujuan untuk melahirkan sumber daya manusia yang andal dan memiliki keunggulan. HMI diharapkan akan memberi perhatian lebih besar terhadap upaya membangun basis kelompok terdidik dan terpelajar, yang menjadi cikal bakal lahirnya sumber daya manusia berkualitas, andal, dan memiliki keunggulan. Kelompok ini dapat disebut sebagai komunitas intelektual, yang merupakan soko guru kelompok elite strategis suatu bangsa. Dalam kurun waktu yang relatif lama, HMI telah berhasil membangun tradisi intelektual yang amat baik. Tradisi ini harus dilanjutkan dan ditingkatkan lagi di masadepan. HMI harus merupakan wahana bagi para mahasiswa untuk mengaktualisasikan potensi intelektual mereka, agar bisa berkembang dengan baik. HMI harus membuat dirinya menjadi wadah agar potensi tersebut bisa berkembang secara optimal dalam sebuah lingkungan sosial yang kondusif. Sebagai organisasi kemahasiswaan, HMI diharapkan menjadi wadah dan tempat pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, yang memungkinkan mahasiswa mengembangkan aktivitasnya secara kreatif dan inovatif.
Sebagai institusi pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, HMI dapat memberi kontribusi yang besar terhadap proses pematangan mahasiswa sebagai kelompok masyarakat terpelajar. Dengan membangun manusia-manusia terdidik melalui proses pembelajaran, pemupukan potensi intelektual dan kepemimpinan, serta penguatan kapasitas belajar secara kontinum, diharapkan HMI bisa turut melahirkan manusia-manusia unggul masa depan. Yaitu manusia-manusia yang cerdas, terampil, memiliki etos kerja tinggi, semangat dan daya juang (fighting spirit) yang bergelora, sehingga siap menyongsong kehidupan global yang sangat kompetitif itu.

2.   Mengembangkan dan Menguasai Iptek.
HMI sebagai organisasi para kader pembangunan yang Islami dan berwawasan kebangsaan, diharapkan akan terus berusaha mengapresiasi secara kreatif dan inovatif berbagai gejala dan kencenderungan yang dilahirkan oleh kemajuan iptek. HMI harus dapat merespons dengan tepat tuntutan eksternal yang tidak bisa dielakkan, yaitu perkembangan global yang didominasi oleh peranan iptek secara amat kuat. Sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda, dan sebagai bagian dari komunitas perguruan tinggi, HMI harus memelopori pengembangan budaya iptek di kalangan masyarakat.

3.   Memperkukuh Wawasan Kebangsaan.
HMI juga dituntut untuk senantiasa meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan di kalangan anggotanya. Identitas Islam di dalam HMI hendaknya merefleksikan semangat dan kesadaran bahwa HMI merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian, HMI dituntut untuk bisa melakukan sintesa harmonis antara wawasan keislaman dan wawasan kebangsaan. Islam merupakan semangat pergerakan di dalam tubuh HMI, sedangkan wawasan kebangsaan haruslah menjadi basis HMI dalam melakukan pergerakan itu. Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan ini bukan hanya berdimensi internal, melainkan juga berdimensi eksternal yakni untuk mengantisipasi gelombang globalisasi pada abad ke-21 nanti. Peneguhan dan pemantapan wawasan kebangsaan ini, selain untuk menghadapi tantangan globalisasi, juga agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terpelihara dan terjaga dengan baik. Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan dalam era globalisasi ini sungguh penting, karena ada potensi nilai-nilai kebangsaan terdesak karena menguatnya nilainilai universal. HMI dapat berperan besar dalam usaha kita untuk terus menerus memupuk dan memperkukuh wawasan kebangsaan dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk itu.

4.   Memperkuat Basis Kepemimpinan.
Sebagai organisasi mahasiswa, HMI merupakan lembaga strategis wadah pembentukan kepemimpinan. Bangsa kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tangguh dan memiliki visi yang jelas tentang pembangunan nasional dan masa depannya. Kepemimpinan yang tangguh dan bervisi itu tidak bisa lahir secara tiba-tiba, tetapi harus melalui suatu proses; ada masa penempaan, penggodogan, dan pengujian, baik ketika masih menjadi mahasiswa maupun sesudah terjun ke masyarakat. HMI yang telah terbukti merupakan wadah kelahiran pemimpin-pemimpin di masa lalu, diharapkan dapat terus menjadi kancah dan medan penempaan, penggodogan, dan pengujian bagi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan yang kualitasnya sesuai untuk menghadapi tantangan masa depan, yang tidak sama dengan masa lampau atau masa kini.





BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

3.1.      Kesimpulan.
Hujatan-hujatan terhadap HMI terkesan karena luapan emosional sesaat, akan tetapi perlu mendapatkan catatan tersendiri dari HMI untuk segera melakukan introspeksi. Hal itu mutlak harus dilakukan HMI kalau HMI tidak ingin tercerabut dari akarnya atau meranggas untuk kemudian mati.

Ada beberapa hal yang saat ini menjadi sorotan publik dan harus segera mendapatkan perhatian serius dari HMI.
Pertama, stigma Orde Baru yang melekat kuat pada HMI.
Kedua, HMI cenderung elitis dan tidak merakyat.
Ketiga, format perkaderan HMI mengalami stagnasi yang sangat serius.
Keempat, HMI tidak mampu memenuhi student needs.
Kelima, HMI kehilangan cirinya sebagai organisasi kader intelektual.
Keenam, HMI kering spiritual.

Dari beberapa sorotan public terhadap HMI tersebut, sudah tentu HMI harus melakukan introspeksi diri guna  mendapatkan proyeksi yang lebih mapan. Tentu dengan pengaktualisasian tri komitmen HMI yang berdasar dari kesadaran mendalam untuk membangun HMI ditengah tantangan zamannya. Syarat utama untuk mengaktualisasikan komitmen-komitmen HMI ini adalah kedewasaan serta kemampuan pengorganisiran anggota untuk menghadapi setiap tantangan dari perbedaan yang majemuk. Penguatan dan penghayatan komitmen HMI merupakan bagian dari pola ideologisasi yang dilakukan secara terus-menerus, karena HMI adalah organisasi kader dan wadah perjuangan.



3.2.      Penutup.
Kiranya hanya dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas kader HMI, maka HMI akan dapat mengambil peran positif dalam pembangunan nasional. Hal ini harus menjadi bagian yang terdepan untuk dilakukan. Tanpa kesadaran dan iktikad untuk berbuat baik, maka HMI hanya menjadi beban bagi pembangunan nasional. Jika itu terjadi, sungguh menjadi petaka yang besar bagi cemerlangnya cahaya HMI pada dekade yang lalu. Terlepas dari plus-minus HMI secara organisasi, yang terpenting adalah bagaiman kader HMI dapat meningkatkan kualitas dirinya secara perorangan. Hanya itulah yang dapat mengangkat harkat dan martabat HMI. Sehingga HMI tetap menjadi agen pembaharuan bangsa yang tetap dirindukan umat, bangsa, dan negara.

Saya sebagai penyusun dalam makalah ini sangat menyadari akan kekurangan dalam penyusunan, maka besar harapan saya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini dikemudian hari, sesuai harapan kita bersama.
Yakin Usaha Sampai !















DAFTAR PUSTAKA
LAPMI PB HMI. “Menemukan Kembali Himpunan Mahasiswa Islam”. Adaide. Jakarta:2008
Sitompul Agussalim. “Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975)”. Cv Misaka Gazali. Jakarta:2008
Madjid Nurcholish. “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern”. Media Cita. Jakarta:2000
Gardner Howard. “Lima Jenis Pikiran Yang Penting di Masa Depa”. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta:2007
Irfan Mohammad. “Membangun Visi Baru Bernegara”. Fariz Putra Perdana. Jakarta:2000
Hanafi,A, M.A. “Pengantar Teologi Islam”. PT. Pustaka Al Husna Baru. Jakarta:2003
Shihab M. Quraish. “Membumikan Al-Quran”. Mizan. Bandung:1994
Armstrong Thomas. “Menemukan Dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence”. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta:2005
Sitompul Agussalim. “Refleksi 63 Tahun Perjuangan HMI : Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI”. HMI Cabang Malang:2010
Castur Selamet. “NDP-HMI Dan Problem Transformasi Islam Keindonesiaan”. HMI Cabang Malang:2010