BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejauh yang kami ketahui,
perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memiliki dua dimensi penting, yakni;
dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal yang dimaksud adalah
pemahaman tentang perkaderan sebagai wahana enkulturasi, sosialisasi dan
pengamalan nilai-nilai Islam kedalam diri kader. Dalam pendekatan dimensi ini,
maka akan terjelaskan bahwa perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan
kanal transformasi nilai atau ikhtiar menggeser nilai anutan para kader dari
nilai jahiliyah menuju kearah nilai Islam sehingga tujuan HMI dapat tercapai.
Perkaderan menjadi arena menawarkan nilai Islam sebagai nilai alternatif yang
harus dipilih oleh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sementara itu, dimensi
eksternal perkaderan yang dimaksud adalah menempatkan perkaderan sebagai ajang
kontestasi dan ruang aktualisasi potensi diri kadernya. Dimensi ini memberi
ruang yang lebih luas bagi pengembangan keilmuan, minat dan bakat seseorang
yang tengah berproses dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Perkaderan dalam HMI
sebenarnya telah dirumuskan dalam pedoman perkaderan yang termaktub dalam
aturan-aturan dasar HMI. Namun pada kenyataannya, pedoman perkaderan yang telah
ada ini cenderung di abaikan dan tidak di implementasikan sebagaimana mestinya.
Ada banyak faktor, bisa karena tidak semua pelaku perkaderan mampu memahami
secara baik pedoman yang ada tersebut, belum lagi, hanya sebagian anggota atau
kader saja yang membaca atau senantiasa bergumul dengan konstitusi dan
aturan-aturan main yang ada pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kenyataan saat
ini menujukkan bahwa perkaderan HMI sudah keropos. Hanya memenuhi aspek formal
semata-mata, dalam artian sudah tak memiliki muatan nilai. Suatu pemikiran yang
banyak dilansir oleh pemikir HMI, khususnya yang pernah hidup dalam carut-marut
dunia perkaderan HMI. Disebutkan begitu, didasarkan pada kenyataan dimana
perkaderan HMI kini tak lagi mencerminkan sebuah tatanan yang terdiri dari
sejumlah bagian yang saling terkait dan saling mendukung satu sama lain guna
mencapai target, sebagaimana layaknya sebuah pelatihan dalam kerangka
pembentukan karakter kader. Demikian, bahwa perkaderan HMI tak lagi
mencerminkan tatanan yang jelas, kontinyu, dan konsisten. Dengan begitu, setidaknya
memerlukan pola yang jelas dan tertuang dalam suatu system perkaderan HMI yang
memungkin berbagai element melakukan penggantian interaksi baik vertical maupun
horizontal melalui pembentukan kader berkualitas
muslim-intelektual-profesional
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana refleksi dan paradigm perkaderan HMI ?
b. Bagimana menyikapi gejala-gejala perkaderan HMI ?
c. Bagaimana hakekat dan makna islam dalam HMI ?
d. Bagaimana implementasi kader berkualiatas insane cita
?
1.3. Tujuan
a. Memperjelas perkaderan HMI
b. Memahami hakekat dan makna HMI
c. Memberikan pemahaman tentang kualitas insane cita HMI
d. Sebagai petunjuk arah baru untuk hidup sebagai
masyarakat hijau hitam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Refleksi dan Pergeseran
Paradigma Perkaderan HMI
Pada dasarnya, kunci
keberhasilan HMI dalam pendulum pentas sejarah pergerakannya sebenarnya lebih
disebabkan oleh ketekunannya dalam mengadakan proses kaderisasi, kontribusinya
dalam diskursus intelektualisme Islam dan kemampuannya dalam mempertahankan
independensinya, inilah sebenarnya tiga kunci yang satu sama lainnya saling
bertaut tak terpisahkan hingga HMI pernah mencatatkan sejarah emas dalam
diskursus intelektualisme Islam di Indonesia. Keberhasilan ini lebih
dikarenakan HMI mampu menerjemahkan Hakikat Perkaderan manusia seperti yang
dikemukakan oleh pemikir sosiologi A.N Whitehead dalam teorinya yang berjudul
Proses and Reality, yakni tentang kesadaran Proses dan Realiti. Whitehead
mengatakan bahwa kesadaran proses yang dimaksud adalah berkenaan tentang suatu
yang awal-akhir, sementara kesadaran realitas adalah pertemuan antara lahir dan
batin. Maka dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa pertemuan kesadaran
proses dengan kesadaran realitas merupakan hakikat perkaderan manusia yang
bersifat lokalistik-hakiki (lokalitas yang paling hakiki). Sehingga ketika kita
membangun paradigma perkaderan haruslah bisa memahami antara proses dan
realitas kita secara integratif.
Penyempitan makna
perkaderan ini ditunjukkan dengan adanya:
1.
Basic
Training HMI dianggap model paling penting dalam perkaderan HMl, menjadi
kegiatan utama dan pokok, bahkan di beberapa komisariat cenderung menjadi
satu-satunya kegiatan organisatoris yang pada akhirnya menjadikan HMI
seolah-olah hanya sekedar organisasi Basic Training.
2.
Relevansinya dengan kebutuhan pragmatis
gerakan sosial dipertanyakan, sehubungan dengan upaya mempengaruhi transformasi
sosial dalam bentuknya yang nyata.
2.2.
Menyikapi Gejala-Gejala Perkaderan HMI
Perkaderan bagi HMI sebagai organisasi yang
concern dengan pengembangan potensi kreatif mahasiswa, merupakan proses dinamis
yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi dinamika organisasi.
Karena itu, seberapa jauh efektifitas perkaderan yang berlangsung di dalamnya,
akan mejadi penentu terhadap kinerja organisasi dan proses transformasi
(termasuk regenerasi) kader secara struktural maupun kultural (khususnya dalam
aspek perilaku organisasi). Dengan demikian, maka proses perkaderan bisa
diposisikan sebagai faktor utama bagi produktifitas organisasi dalam
menghasilkan karya-karya yang signifikan bagi eksistensi organisasi itu sendiri
maupun yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dalam sejarahnya, HMI dipandang
sebagai organisasi yang memiliki sistem perkaderan cukup baik - di samping
Pelajar Islam Indonesia (PII) - khususnya di kalangan organisasi
kepemudaan-kepelajaran dan kemahasiswaan. Hal ini bisa dilihat dari tetap
terpeliharanya kontinuitas kepemimpinan (secara struktural dan kultural)
organisasi, peran-peran kader HMI (termasuk para alumninya) dalam berbagai
sektor; pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll.
Namun demikian, baik
tidaknya perkaderan di sini, memang tidak hanya bisa dilihat dari kontinuitas
kepemimpinan organisasi. Di samping itu, karya-karya produktifnya, baik dalam
bentuk perilaku organisasi yang solid, dinamis dan elegan, maupun dalam bentuk
pribadi kader-kadernya yang berdisiplin tinggi, berkomitmen terhadap perjuangan
organisasi, dan kreatif-inovatif, juga dalam hal efektifitas perkaderan yang
dilakukannya. Artinya bahwa tatkala HMI secara kelembagaan tidak lagi memiliki
efektifitas untuk menggerakkan potensi organisasi ataupun potensi kader yang
dimilikinya, ini menjadi alamat bahwa perkaderan HMI telah mengalami kejumudan
atau dapat dikatakan memasuki wilawah “persolaan serius”.
Beberapa gejala umum perkaderan yang sering terjadi dalam
proses perkaderan, antara lain sebagi berikut :
a.
Dalam
sisi wajah kepengurusan organisasi; sebagian pengurus seringkali tidak berusaha
membina hubungan baik dengan seluruh anggotanya. Mereka mengira dapat
berpura-pura baik di depan umum (khalayak) kader-kadernya dan kemudian
mengumpat dan menyumpah serapah serta membanting pintu di rumah (sekretariat).
Ironisnya, mereka kemudian terkejut mendapatkan anak buahnya (anggotanya) satu
persatu tidak aktif (rontok), menjauh dan akhirnya hilang.
b.
Dalam
sisi wajah anggota organisasi seringkali mereka mengira bahwa setelah menjadi
anggota HMI, lantas namanya akan menjadi besar (sebagaimana nama-nama para
alumninya yang sekarang banyak menjadi public figure. Mereka mengira setiap
saat akan mendapat full servis dari pengurus; dari urusan pribadi sampai urusan
akademik. Mereka baru sadar setelah seminggu, sebulan, setahun atau
bertahun-tahun ditunggu-tunggu, ternyata tidak mendapat apa-apa. Akhirnya
dengan nada mengumpat, “HMI omong kosong” mereka mulai menjauhi HMI dan
kemungkinan bisa saja akhirnya “membenci” HMI.
c.
Dalam
sisi yang paling praktis, dalam perkaderan, khususnya di arena pelatihan; para
kader sebelum memasuki arena pelatihan berobsesi akan bersuka ria, senang,
gembira dengan sejuta harapan di dalam pikirannya. Tetapi, seringkali yang
terjadi sebaliknya. Setelah memasuki arena pelatihan, mereka merasa “dibohongi”
atau “terbohongi”. Sebab, yang dirasakan justru rasa jenuh, bosan, boring,
bete, dan tidak happy. Sebab instruktur (pemandu) telah “memaksa” mereka untuk
“hadir dan duduk selama berhari-hari atau lebih untuk mendengarkan/menyaksikan
sekumpulan ide-ide abstrak”.
Di samping tiga gejala di
atas, tentu saja masih banyak gejala lain yang bisa disaksikan, didengar dan
dirasakan atau dialami oleh setiap kader dalam tubuh HMI. Karena, memang
organisasi itu pada dasarnya seperti tubuh dengan seribu wajah. Setiap kader
HMI pada umumnya akan memiliki pandangan dan perasaan yang berbeda-beda terhadap
kondisi obyektif organisasi.
Dalam upaya membesarkan
HMI agar menjadi organisasi yang produktif dan efektif, perlu kiranya
menerapkan prinsip dasar dalam pengembangan kader, yaitu :
1.
Pribadi
(personal) dengan kualifikasi layak dipercaya
2.
Interpersonal
dengan kualifikasi kepercayaan
3.
Manajerial
dengan kualifikasi pemberdayaan agar efektif
4.
Organisasional
dengan kualifikasi penyelarasan agar produktif
Dalam menjalankan proses
perkaderan dengan prinsip di atas, maka perlu pendekatan perkaderan yang tepat,
yaitu pendekatan yang berpijak pada tujuh kebiasaan efektif manusia (kader) :
1.
Jadilah
pro-aktif, yaitu kemampuan pengetahuan akan diri atau kesadaran diri – citra
diri.
2.
Mulai
dengan mengacu pada tujuan, yaitu sebagai kemampuan imajinasi dan suara hati -
motivasi.
3.
Dahulukan
yang utama dalam bentuk kemampuan niat.
4.
Berfikir
menang/menang, yaitu berupa kemampuan mentalitas berkelimpahan.
5.
Berusaha
mengerti terlebih dulu, baru dimengerti, yaitu kemampuan dari keberanian diimbangi
dengan pertimbangan.
6.
Bersinergi,
yaitu merupakan kemampuan kreatifitas - penciptaan sesuatu.
7.
Asahlah
gergaji, yaitu sebagai kemampuan unik dari perbaikan berkelanjutan atau
pembaharuan diri untuk mengatasi kemandegan, kejumudan atau konservatisme.
Mencermati perkaderan HMI
dalam dekade terakhir ini, kita memang perlu apresiatif, sebab telah tumbuh
kesadaran besar untuk melakukan pembaharuan di semua aspek perkaderannya. Namun
demikian, sayang sekali bahwa keinginan besar itu, nampaknya belum diimbangi
dengan kemampuan analisa yang komprehensif terhadap makna sebenarnya dari
perkaderan itu sendiri serta berbagai aspek yang berkaitan dengan proses
perkaderan; seperti prinsip dasar perkaderan, falsafah perkaderan, pola dasar
perkaderan, muatan perkaderan, metodologi perkaderan dan manajemen
perkaderannya. Akibatnya, pembaharuan yang berlangsung, di satu sisi merupakan
bentuk kreatifitas yang memang perlu dihargai. Namun sekali lagi, mengapa
“pembaharuan” itu kok justru menimbulkan persoalan baru yang bisa merusak wajah
intelektualitas HMI yang elegan, kosmopolitan dan selalu berpikir akademis. Karena
itu, sesuatu yang perlu direnungkan bersama adalah bahwa perbaikan dalam
perkaderan itu bukanlah sesuatu yang harus dimulai dari luar, tetapi justru
harus dimulai dari dalam (dari diri sendiri). Perubahan bukan dimulai dengan
belajar “ketrampilan baru”, tatapi dengan meningkatkan integritas terhadap
prinsip-prinsip dasar. Inilah prinsip berpikir yang berpijak pada kepemimpinan
yang berprinsip.
2.3.
Hakekat Dan Makna Islam Dalam HMI
Agama adalah
pemberi sumber motivasi kerja bagi pemeluknya. Karenanya agama harus
dikembangkan. Hambatan-hambatan pembangunan bukan hanya di akibatkan oleh
hambatan ekonomi, karena kurangnya modal, tetapi harus di akui atas kenyataan
karena kekakuan dalam menerapkan norma-norma agama. HMI yang berazazkan islam
tentunya menjadi ruh dalam perjalanan HMI. Perumusan kalimat persaksian
(Syahadat) islam yang memberi pengecualian
agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang
ada dengan segala akibatnya agar tunduk kepada ukuran kebenaran dalam
menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah SWT. Dengan
berpegang teguh kepada Al-Quran agar sebagai penerang untuk memahami Ketuhanan
yang maha esa dan ajaran-ajarann-Nya.
Perjanjian itu
tidak tercatat di atas kertas, tidak pula di ucapkan dalam lidah, melainkan
terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia,
dan di atas permukaan hati nurani serta dikedalaman perasaan bathiniyah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan, pertama kali ditegaskan
dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Fitrah yang ada
dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama.
Oleh karenanya ketika dating wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama,
maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu.
Berikutnya yang terlihat dari kata HMI adalah
“i”nya, yakni islam. dalam anggaran dasar pasal 3 disebutkan bahwa “hmi
berasaskan islam”, bahkan jauh sebelum itu ide dasar kelahiran HMI
yang melihat kondisi umat islam indonesia yang terpolarisasi dalam beberapa
kelompok maka menurut pemrakarsa pendiri, ayahanda, lafran pane, kita harus
melakukan “pembaharuan ke-islaman”. maka untuk melakukan gerakan pembaharuan
mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan tidak
bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha yang teratur,
terencana dan sistematis.
selain itu salah satu
latar belakang
yang sangat dominan dalam lahirnyapun adalah persoalan ke-islaman, antara lain:
(1). menampung aspirasi mahasiswa islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan
keagamaan; (2). tenggelamnya ruh dan semangat islam. namun disamping itu
bangkitnya islam yang dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan
modernisasi dalam tata kehidupan keagamaan umat islam dan resonansinya
mengilhami dan mendorong umat islam indonesia untuk bangkit, kebangkitan
terlihat dari munculnya serikat dagang islam, muhammadiyah, al-jamiatul
wasliyah, persatuan umat islam, persatuan islam dan masyumi; (3). terjadinya
krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang tidak
mengintegrasikan antara disiplin ilmu dan agama.
sesungguhnya allah
subhanahu wa ta’ala, menurunkan islam sebagai agama yang haq, dan sempurna untuk mengatur umat
manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi
dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-nya. kehidupan yang
sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang, terpadu
antara jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat, iman, ilmu dan amal dalam
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi (lihat, nilai-nilai dasar
perjuangan HMI).
sehingga dengan
begitu ke-islaman adalah sebuah komitmen (ikatan jiwa) bagi hmi secara moral
dan kelembagaan. maka islam bagi hmi
adalah dasar kelahiran, sumber nilai, motivasi, dan inspirasi. karena islam
adalah ajaran yang fitrah, maka pada dasarnya tujuan islam adalah juga
merupakan tujuan dan usaha HMI.
2.4. Implementasi Kader Berkualitas Insan Cita.
Insan cita HMI adalah
merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI dalam pribadi
seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan
tugas kerja kemanusiaan. Dalam tafsir tujuan hmi, insan cita memiliki beberapa
17 kualitas pribadi, yang pada pokoknya merupakan gambaran “man of future”,
insan pelopor yaitu insane yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat
terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi
cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif
bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. ideal tipe dari hasil perkaderan HMI
adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). penyuara “idea of progress”.
insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang dan padu, kritis,
dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. mereka
itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam
kualitas yang maksimal (insan kamil).
Masyarakat
adil dan makmur yang diridhoi allah swt. adalah gambaran sederhana HMI tentang
tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya, dicita-citakannya,
masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun toyibbatun wa
robbun ghafur yang merupakan fungsi dari insan cita yang akan dikader oleh
HMI. Masyarakat cita yang ingin diwujudkan HMI itu juga senada dengan apa yang
ingin menjadi cita-cita kemerdekaan oleh pembesar-pembesar pendiri republik ini, yakni masyarakat yang
bebas dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat,
masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan hidupnya
sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tujuan dari
kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri, dimana bila merujuk pada
konstitusi kita, pembukaan UUD 1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan
indonesia masih sampai sebatas mengantarkan rakyat pada “pintu gerbang” satu
tatanan masyarakat “adil dan makmur” untuk itu syarat mutlaknya adalah
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, indonesia bisa berkehidupan
kebangsaan yang bebas dst..dst… dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini
berada di dalam republik indonesia, dan tujuan HMI hanya dapat direalisasikan
oleh mereka yang disebut “kader” dan itu tidaklah berhenti pada masa
keanggotaan seorang mahasiswa.
Kualitas insane cita HMI terdapat lima, yang menjadi
patokan atau standar bagi kader-kader HMI. Kendati demikian HMI tidak begitu
bertanggungjawab atau memberikan garansi bahwa orang-orang yang masuk HMI akan
memenuhi kualitas di atas. Hal tersebut dikembalikan kepada individu atau kepribadian
kader itu sendiri. Hal
ini dikarenakan bahwa HMI bukanlah satu-satunya patokan dari pegangan kehidupan
kader HMI. Tidak banyak tanggungjawab yang HMI patok kepada kadernya menjadi
tanggungjawab mission atau tujuan HMI sendiri, hal ini dikarenakan dalam tujuan
HMI hanya bertuliskan redaksi “terbinanya” bukan “membina”.
Hal
ini akan jauh lebih signifikan jika masing-masing individu yang kuat
menggunakan kekuatannya
untuk berpartisipasi menguatkan yang lain. Hubungan
antar masyarakat dengan pola semacam inilah yang kemudian menciptakan
masyarakat madani yang progresif namun sarat dengan semangat persaudaraan.
Hal
inilah yang dengan terang-terangan dijadikan tujuan HMI. HMI telah
memproklamasikan bahwa ia berdiri untuk mewujudkan keadaan dimana insane
akademis terbina menjadi manusia dengan kualitas Insan Cita, lengkap dengan
lima kualitas dasar yang harus dimilikinya.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas sedikit kami
simpulkan bahwa dalam Anggaran dasar, pasal 8 dikatakan
bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi kader”. dalam pedoman perkaderan
dikatakan bahwa, kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus
menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. hal
ini dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader HMI, yaitu: pertama,
seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan
main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. dari
segi nilai, aturan itu adalah NDP, sedang dari segi operationalisasi organisasi
adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan pedoman serta ketentuan organisasi
lainnya. kedua, seorang kader memiliki komitmen yang terus menerus (permanen),
tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam
memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. ketiga, seorang kader memiliki bobot
yang dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga
kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. jadi fokus penekanan kaderisasi
adalah pada aspek kualitas. keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian
yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan keahlian social.
Sedang dalam pasal 9 Anggaran dasar
disebutkan “HMI berperan sebagai organisasi perjuangan”. sebagaimana di atas,
baik secara organisatoris maupun etis adalah kewajiban bagi kader HMI untuk
komit terhadap islam dan HMI adalah alatnya, alat perjuangan untuk
mentransformasikan nilai-nilai ke-islaman yang membebaskan, dan memiliki
keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum tertindas
(mustradzafin). Perubahan
bagi HMI merupakan keharusan, demi tercapainya idealisme ke-islaman, maka HMI bertekad
menjadikan islam sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara
integralistik, transendental, humanis, dan inklusif. Dengan demikian
kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip
demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya
penghargaan islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.
jelaslah kiranya bahwa dalam rumusan
tujuan HMI yang tadi kita katakan terbagi dua yakni “insan cita” dan
“masyarakat cita” secara eksplisit berbicara tentang fungsi perkaderan dan
peran perjuangan. dan tujuan HMI tidak akan pernah tercapai bila dalam
prosesnya tidak sinambung antara keduanya. Fungsi dan peran adalah dua sisi
mata koin tujuan. Bahwa mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau
kesalahan berpikir masih menjebak benak kita, kata kang jalal, maka akan muspro
berbicara sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. Dalam bahasa
kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau obyektifikasi,
pengabdian mengharap ridho-Nya.
3.2. PENUTUP
Demikian pembuatan makalah ini dapat kami selesaikan.
Mudah-mudahan menjadi tambahan ilmu bagi kita dan dapat mengimplementasikan
perkaderan dengan maksimal serta dapat meneruskan perjuangan HMI pada masa kini dan menuju hari
esok yang lebih baik.
Saya
sebagai penyusun dalam makalah ini sangat menyadari akan kekurangan dalam
penyusunan, maka besar harapan saya kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi penyempurnaan makalah ini dikemudian hari, sesuai harapan kita bersama.
DAFTAR PISTAKA
LAPMI PB HMI. “Menemukan
Kembali Himpunan Mahasiswa Islam”. Adaide. Jakarta:2008
Sitompul
Agussalim. “Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975)”. Cv
Misaka Gazali. Jakarta:2008
Madjid
Nurcholish. “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern”. Media Cita.
Jakarta:2000
Hanafi,A, M.A. “Pengantar
Teologi Islam”. PT. Pustaka Al Husna Baru. Jakarta:2003
Nata Abuddin. “Metodologi
Studi Islam”. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta:1998
Molyneux Jhon. “Karl
Marx Aku Bukan Marxis”. Teplok Press. Jakarta:2000
Butt Nasim. “Sains
& Masyarakat Islam”. Pustaka Hidayah. Sukaluyu:2001
Cardoso Gomes
Faustino. “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Andi. Yogyakarta:1995
Irfan Mohammad.
“Membangun Visi Baru Bernegara”. Fariz Putra Perdana. Jakarta:2000
O. Kattsoff
Louis. “Pengantar Filsafat”. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:1992
Shihab M.
Quraish. “Membumikan Al-Quran”. Mizan. Bandung:1994
No comments:
Post a Comment