SELAMAT DATANG DI HMI KOMISARIAT BONDOWOSO

SELAMAT DATANG DI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) KOMISARIAT BONDOWOSO

Friday, October 19, 2012

“PERKADERAN HMI DALAM PEMBENTUKAN INTEGRITAS KADER BERKUALITAS IMAN, ILMU DAN AMAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Sejauh yang kami ketahui, perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memiliki dua dimensi penting, yakni; dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal yang dimaksud adalah pemahaman tentang perkaderan sebagai wahana enkulturasi, sosialisasi dan pengamalan nilai-nilai Islam kedalam diri kader. Dalam pendekatan dimensi ini, maka akan terjelaskan bahwa perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan kanal transformasi nilai atau ikhtiar menggeser nilai anutan para kader dari nilai jahiliyah menuju kearah nilai Islam sehingga tujuan HMI dapat tercapai. Perkaderan menjadi arena menawarkan nilai Islam sebagai nilai alternatif yang harus dipilih oleh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sementara itu, dimensi eksternal perkaderan yang dimaksud adalah menempatkan perkaderan sebagai ajang kontestasi dan ruang aktualisasi potensi diri kadernya. Dimensi ini memberi ruang yang lebih luas bagi pengembangan keilmuan, minat dan bakat seseorang yang tengah berproses dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Perkaderan dalam HMI sebenarnya telah dirumuskan dalam pedoman perkaderan yang termaktub dalam aturan-aturan dasar HMI. Namun pada kenyataannya, pedoman perkaderan yang telah ada ini cenderung di abaikan dan tidak di implementasikan sebagaimana mestinya. Ada banyak faktor, bisa karena tidak semua pelaku perkaderan mampu memahami secara baik pedoman yang ada tersebut, belum lagi, hanya sebagian anggota atau kader saja yang membaca atau senantiasa bergumul dengan konstitusi dan aturan-aturan main yang ada pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kenyataan saat ini menujukkan bahwa perkaderan HMI sudah keropos. Hanya memenuhi aspek formal semata-mata, dalam artian sudah tak memiliki muatan nilai. Suatu pemikiran yang banyak dilansir oleh pemikir HMI, khususnya yang pernah hidup dalam carut-marut dunia perkaderan HMI. Disebutkan begitu, didasarkan pada kenyataan dimana perkaderan HMI kini tak lagi mencerminkan sebuah tatanan yang terdiri dari sejumlah bagian yang saling terkait dan saling mendukung satu sama lain guna mencapai target, sebagaimana layaknya sebuah pelatihan dalam kerangka pembentukan karakter kader. Demikian, bahwa perkaderan HMI tak lagi mencerminkan tatanan yang jelas, kontinyu, dan konsisten. Dengan begitu, setidaknya memerlukan pola yang jelas dan tertuang dalam suatu system perkaderan HMI yang memungkin berbagai element melakukan penggantian interaksi baik vertical maupun horizontal melalui pembentukan kader berkualitas muslim-intelektual-profesional
1.2.       Rumusan Masalah
a.      Bagaimana refleksi dan paradigm perkaderan HMI ?
b.      Bagimana menyikapi gejala-gejala perkaderan HMI ?
c.       Bagaimana hakekat dan makna islam dalam HMI ?
d.     Bagaimana implementasi kader berkualiatas insane cita ?

1.3.       Tujuan
a.      Memperjelas perkaderan HMI
b.      Memahami hakekat dan makna HMI
c.       Memberikan pemahaman tentang kualitas insane cita HMI
d.     Sebagai petunjuk arah baru untuk hidup sebagai masyarakat hijau hitam












BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Refleksi dan Pergeseran Paradigma Perkaderan HMI
Pada dasarnya, kunci keberhasilan HMI dalam pendulum pentas sejarah pergerakannya sebenarnya lebih disebabkan oleh ketekunannya dalam mengadakan proses kaderisasi, kontribusinya dalam diskursus intelektualisme Islam dan kemampuannya dalam mempertahankan independensinya, inilah sebenarnya tiga kunci yang satu sama lainnya saling bertaut tak terpisahkan hingga HMI pernah mencatatkan sejarah emas dalam diskursus intelektualisme Islam di Indonesia. Keberhasilan ini lebih dikarenakan HMI mampu menerjemahkan Hakikat Perkaderan manusia seperti yang dikemukakan oleh pemikir sosiologi A.N Whitehead dalam teorinya yang berjudul Proses and Reality, yakni tentang kesadaran Proses dan Realiti. Whitehead mengatakan bahwa kesadaran proses yang dimaksud adalah berkenaan tentang suatu yang awal-akhir, sementara kesadaran realitas adalah pertemuan antara lahir dan batin. Maka dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa pertemuan kesadaran proses dengan kesadaran realitas merupakan hakikat perkaderan manusia yang bersifat lokalistik-hakiki (lokalitas yang paling hakiki). Sehingga ketika kita membangun paradigma perkaderan haruslah bisa memahami antara proses dan realitas kita secara integratif.
Penyempitan makna perkaderan ini ditunjukkan dengan adanya:
1.      Basic Training HMI dianggap model paling penting dalam perkaderan HMl, menjadi kegiatan utama dan pokok, bahkan di beberapa komisariat cenderung menjadi satu-satunya kegiatan organisatoris yang pada akhirnya menjadikan HMI seolah-olah hanya sekedar organisasi Basic Training.
2.      Relevansinya dengan kebutuhan pragmatis gerakan sosial dipertanyakan, sehubungan dengan upaya mempengaruhi transformasi sosial dalam bentuknya yang nyata.



2.2.       Menyikapi Gejala-Gejala Perkaderan HMI
Perkaderan bagi HMI sebagai organisasi yang concern dengan pengembangan potensi kreatif mahasiswa, merupakan proses dinamis yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi dinamika organisasi. Karena itu, seberapa jauh efektifitas perkaderan yang berlangsung di dalamnya, akan mejadi penentu terhadap kinerja organisasi dan proses transformasi (termasuk regenerasi) kader secara struktural maupun kultural (khususnya dalam aspek perilaku organisasi). Dengan demikian, maka proses perkaderan bisa diposisikan sebagai faktor utama bagi produktifitas organisasi dalam menghasilkan karya-karya yang signifikan bagi eksistensi organisasi itu sendiri maupun yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dalam sejarahnya, HMI dipandang sebagai organisasi yang memiliki sistem perkaderan cukup baik - di samping Pelajar Islam Indonesia (PII) - khususnya di kalangan organisasi kepemudaan-kepelajaran dan kemahasiswaan. Hal ini bisa dilihat dari tetap terpeliharanya kontinuitas kepemimpinan (secara struktural dan kultural) organisasi, peran-peran kader HMI (termasuk para alumninya) dalam berbagai sektor; pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll.
Namun demikian, baik tidaknya perkaderan di sini, memang tidak hanya bisa dilihat dari kontinuitas kepemimpinan organisasi. Di samping itu, karya-karya produktifnya, baik dalam bentuk perilaku organisasi yang solid, dinamis dan elegan, maupun dalam bentuk pribadi kader-kadernya yang berdisiplin tinggi, berkomitmen terhadap perjuangan organisasi, dan kreatif-inovatif, juga dalam hal efektifitas perkaderan yang dilakukannya. Artinya bahwa tatkala HMI secara kelembagaan tidak lagi memiliki efektifitas untuk menggerakkan potensi organisasi ataupun potensi kader yang dimilikinya, ini menjadi alamat bahwa perkaderan HMI telah mengalami kejumudan atau dapat dikatakan memasuki wilawah “persolaan serius”.

Beberapa gejala umum perkaderan yang sering terjadi dalam proses perkaderan, antara lain sebagi berikut :
a.      Dalam sisi wajah kepengurusan organisasi; sebagian pengurus seringkali tidak berusaha membina hubungan baik dengan seluruh anggotanya. Mereka mengira dapat berpura-pura baik di depan umum (khalayak) kader-kadernya dan kemudian mengumpat dan menyumpah serapah serta membanting pintu di rumah (sekretariat). Ironisnya, mereka kemudian terkejut mendapatkan anak buahnya (anggotanya) satu persatu tidak aktif (rontok), menjauh dan akhirnya hilang.
b.      Dalam sisi wajah anggota organisasi seringkali mereka mengira bahwa setelah menjadi anggota HMI, lantas namanya akan menjadi besar (sebagaimana nama-nama para alumninya yang sekarang banyak menjadi public figure. Mereka mengira setiap saat akan mendapat full servis dari pengurus; dari urusan pribadi sampai urusan akademik. Mereka baru sadar setelah seminggu, sebulan, setahun atau bertahun-tahun ditunggu-tunggu, ternyata tidak mendapat apa-apa. Akhirnya dengan nada mengumpat, “HMI omong kosong” mereka mulai menjauhi HMI dan kemungkinan bisa saja akhirnya “membenci” HMI.
c.       Dalam sisi yang paling praktis, dalam perkaderan, khususnya di arena pelatihan; para kader sebelum memasuki arena pelatihan berobsesi akan bersuka ria, senang, gembira dengan sejuta harapan di dalam pikirannya. Tetapi, seringkali yang terjadi sebaliknya. Setelah memasuki arena pelatihan, mereka merasa “dibohongi” atau “terbohongi”. Sebab, yang dirasakan justru rasa jenuh, bosan, boring, bete, dan tidak happy. Sebab instruktur (pemandu) telah “memaksa” mereka untuk “hadir dan duduk selama berhari-hari atau lebih untuk mendengarkan/menyaksikan sekumpulan ide-ide abstrak”.

Di samping tiga gejala di atas, tentu saja masih banyak gejala lain yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan atau dialami oleh setiap kader dalam tubuh HMI. Karena, memang organisasi itu pada dasarnya seperti tubuh dengan seribu wajah. Setiap kader HMI pada umumnya akan memiliki pandangan dan perasaan yang berbeda-beda terhadap kondisi obyektif organisasi.

Dalam upaya membesarkan HMI agar menjadi organisasi yang produktif dan efektif, perlu kiranya menerapkan prinsip dasar dalam pengembangan kader, yaitu :
1.      Pribadi (personal) dengan kualifikasi layak dipercaya
2.      Interpersonal dengan kualifikasi kepercayaan
3.      Manajerial dengan kualifikasi pemberdayaan agar efektif
4.      Organisasional dengan kualifikasi penyelarasan agar produktif

Dalam menjalankan proses perkaderan dengan prinsip di atas, maka perlu pendekatan perkaderan yang tepat, yaitu pendekatan yang berpijak pada tujuh kebiasaan efektif manusia (kader) :
1.      Jadilah pro-aktif, yaitu kemampuan pengetahuan akan diri atau kesadaran diri – citra diri.
2.      Mulai dengan mengacu pada tujuan, yaitu sebagai kemampuan imajinasi dan suara hati - motivasi.
3.      Dahulukan yang utama dalam bentuk kemampuan niat.
4.      Berfikir menang/menang, yaitu berupa kemampuan mentalitas berkelimpahan.
5.      Berusaha mengerti terlebih dulu, baru dimengerti, yaitu kemampuan dari keberanian diimbangi dengan pertimbangan.
6.      Bersinergi, yaitu merupakan kemampuan kreatifitas - penciptaan sesuatu.
7.      Asahlah gergaji, yaitu sebagai kemampuan unik dari perbaikan berkelanjutan atau pembaharuan diri untuk mengatasi kemandegan, kejumudan atau konservatisme.

Mencermati perkaderan HMI dalam dekade terakhir ini, kita memang perlu apresiatif, sebab telah tumbuh kesadaran besar untuk melakukan pembaharuan di semua aspek perkaderannya. Namun demikian, sayang sekali bahwa keinginan besar itu, nampaknya belum diimbangi dengan kemampuan analisa yang komprehensif terhadap makna sebenarnya dari perkaderan itu sendiri serta berbagai aspek yang berkaitan dengan proses perkaderan; seperti prinsip dasar perkaderan, falsafah perkaderan, pola dasar perkaderan, muatan perkaderan, metodologi perkaderan dan manajemen perkaderannya. Akibatnya, pembaharuan yang berlangsung, di satu sisi merupakan bentuk kreatifitas yang memang perlu dihargai. Namun sekali lagi, mengapa “pembaharuan” itu kok justru menimbulkan persoalan baru yang bisa merusak wajah intelektualitas HMI yang elegan, kosmopolitan dan selalu berpikir akademis. Karena itu, sesuatu yang perlu direnungkan bersama adalah bahwa perbaikan dalam perkaderan itu bukanlah sesuatu yang harus dimulai dari luar, tetapi justru harus dimulai dari dalam (dari diri sendiri). Perubahan bukan dimulai dengan belajar “ketrampilan baru”, tatapi dengan meningkatkan integritas terhadap prinsip-prinsip dasar. Inilah prinsip berpikir yang berpijak pada kepemimpinan yang berprinsip.

2.3.       Hakekat Dan Makna Islam Dalam HMI
Agama adalah pemberi sumber motivasi kerja bagi pemeluknya. Karenanya agama harus dikembangkan. Hambatan-hambatan pembangunan bukan hanya di akibatkan oleh hambatan ekonomi, karena kurangnya modal, tetapi harus di akui atas kenyataan karena kekakuan dalam menerapkan norma-norma agama. HMI yang berazazkan islam tentunya menjadi ruh dalam perjalanan HMI. Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) islam yang memberi pengecualian  agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya agar tunduk kepada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah SWT. Dengan berpegang teguh kepada Al-Quran agar sebagai penerang untuk memahami Ketuhanan yang maha esa dan ajaran-ajarann-Nya.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula di ucapkan dalam lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta dikedalaman perasaan bathiniyah. Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan, pertama kali ditegaskan dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Fitrah yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika dating wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu.

Berikutnya yang terlihat dari kata HMI adalah “i”nya, yakni islam. dalam anggaran dasar pasal 3 disebutkan bahwa “hmi berasaskan islam”, bahkan jauh sebelum itu ide dasar kelahiran HMI yang melihat kondisi umat islam indonesia yang terpolarisasi dalam beberapa kelompok maka menurut pemrakarsa pendiri, ayahanda, lafran pane, kita harus melakukan “pembaharuan ke-islaman”. maka untuk melakukan gerakan pembaharuan mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan tidak bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha yang teratur, terencana dan sistematis.

selain itu salah satu latar belakang yang sangat dominan dalam lahirnyapun adalah persoalan ke-islaman, antara lain: (1). menampung aspirasi mahasiswa islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan keagamaan; (2). tenggelamnya ruh dan semangat islam. namun disamping itu bangkitnya islam yang dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan modernisasi dalam tata kehidupan keagamaan umat islam dan resonansinya mengilhami dan mendorong umat islam indonesia untuk bangkit, kebangkitan terlihat dari munculnya serikat dagang islam, muhammadiyah, al-jamiatul wasliyah, persatuan umat islam, persatuan islam dan masyumi; (3). terjadinya krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang tidak mengintegrasikan antara disiplin ilmu dan agama.

sesungguhnya allah subhanahu wa ta’ala, menurunkan islam sebagai agama yang haq, dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-nya. kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang, terpadu antara jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat, iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi (lihat, nilai-nilai dasar perjuangan HMI).

sehingga dengan begitu ke-islaman adalah sebuah komitmen (ikatan jiwa) bagi hmi secara moral dan kelembagaan. maka islam bagi hmi adalah dasar kelahiran, sumber nilai, motivasi, dan inspirasi. karena islam adalah ajaran yang fitrah, maka pada dasarnya tujuan islam adalah juga merupakan tujuan dan usaha HMI.
2.4.       Implementasi Kader Berkualitas Insan Cita.
Insan cita HMI adalah merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dalam tafsir tujuan hmi, insan cita memiliki beberapa 17 kualitas pribadi, yang pada pokoknya merupakan gambaran “man of future”, insan pelopor yaitu insane yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). penyuara “idea of progress”. insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Masyarakat adil dan makmur yang diridhoi allah swt. adalah gambaran sederhana HMI tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya, dicita-citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari insan cita yang akan dikader oleh HMI. Masyarakat cita yang ingin diwujudkan HMI itu juga senada dengan apa yang ingin menjadi cita-cita kemerdekaan oleh pembesar-pembesar  pendiri republik ini, yakni masyarakat yang bebas dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat, masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan hidupnya sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tujuan dari kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri, dimana bila merujuk pada konstitusi kita, pembukaan UUD 1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia masih sampai sebatas mengantarkan rakyat pada “pintu gerbang” satu tatanan masyarakat “adil dan makmur” untuk itu syarat mutlaknya adalah penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, indonesia bisa berkehidupan kebangsaan yang bebas dst..dst… dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini berada di dalam republik indonesia, dan tujuan HMI hanya dapat direalisasikan oleh mereka yang disebut “kader” dan itu tidaklah berhenti pada masa keanggotaan seorang mahasiswa.
Kualitas insane cita HMI terdapat lima, yang menjadi patokan atau standar bagi kader-kader HMI. Kendati demikian HMI tidak begitu bertanggungjawab atau memberikan garansi bahwa orang-orang yang masuk HMI akan memenuhi kualitas di atas. Hal tersebut dikembalikan kepada individu atau kepribadian kader itu sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa HMI bukanlah satu-satunya patokan dari pegangan kehidupan kader HMI. Tidak banyak tanggungjawab yang HMI patok kepada kadernya menjadi tanggungjawab mission atau tujuan HMI sendiri, hal ini dikarenakan dalam tujuan HMI hanya bertuliskan redaksi “terbinanya” bukan “membina”.
Hal ini akan jauh lebih signifikan jika masing-masing individu yang kuat menggunakan kekuatannya untuk berpartisipasi menguatkan yang lain.  Hubungan antar masyarakat dengan pola semacam inilah yang kemudian menciptakan masyarakat madani yang progresif namun sarat dengan semangat persaudaraan.
Hal inilah yang dengan terang-terangan dijadikan tujuan HMI. HMI telah memproklamasikan bahwa ia berdiri untuk mewujudkan keadaan dimana insane akademis terbina menjadi manusia dengan kualitas Insan Cita, lengkap dengan lima kualitas dasar yang harus dimilikinya.


BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
3.1.       KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas sedikit kami simpulkan bahwa dalam Anggaran dasar, pasal 8 dikatakan bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi kader”. dalam pedoman perkaderan dikatakan bahwa, kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. hal ini dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader HMI, yaitu: pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. dari segi nilai, aturan itu adalah NDP, sedang dari segi operationalisasi organisasi adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. kedua, seorang kader memiliki komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. ketiga, seorang kader memiliki bobot yang dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan keahlian social.

Sedang dalam pasal 9 Anggaran dasar disebutkan “HMI berperan sebagai organisasi perjuangan”. sebagaimana di atas, baik secara organisatoris maupun etis adalah kewajiban bagi kader HMI untuk komit terhadap islam dan HMI adalah alatnya, alat perjuangan untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-islaman yang membebaskan, dan memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum tertindas (mustradzafin). Perubahan bagi HMI merupakan keharusan, demi tercapainya idealisme ke-islaman, maka HMI bertekad menjadikan islam sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transendental, humanis, dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.
jelaslah kiranya bahwa dalam rumusan tujuan HMI yang tadi kita katakan terbagi dua yakni “insan cita” dan “masyarakat cita” secara eksplisit berbicara tentang fungsi perkaderan dan peran perjuangan. dan tujuan HMI tidak akan pernah tercapai bila dalam prosesnya tidak sinambung antara keduanya. Fungsi dan peran adalah dua sisi mata koin tujuan. Bahwa mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita, kata kang jalal, maka akan muspro berbicara sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. Dalam bahasa kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau obyektifikasi, pengabdian mengharap ridho-Nya.

3.2.       PENUTUP
Demikian pembuatan makalah ini dapat kami selesaikan. Mudah-mudahan menjadi tambahan ilmu bagi kita dan dapat mengimplementasikan perkaderan dengan maksimal serta dapat meneruskan perjuangan HMI pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik.
Saya sebagai penyusun dalam makalah ini sangat menyadari akan kekurangan dalam penyusunan, maka besar harapan saya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini dikemudian hari, sesuai harapan kita bersama.









DAFTAR PISTAKA

LAPMI PB HMI. “Menemukan Kembali Himpunan Mahasiswa Islam”. Adaide. Jakarta:2008
Sitompul Agussalim. “Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975)”. Cv Misaka Gazali. Jakarta:2008
Madjid Nurcholish. “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern”. Media Cita. Jakarta:2000
Hanafi,A, M.A. “Pengantar Teologi Islam”. PT. Pustaka Al Husna Baru. Jakarta:2003
Nata Abuddin. “Metodologi Studi Islam”. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta:1998
Molyneux Jhon. “Karl Marx Aku Bukan Marxis”. Teplok Press. Jakarta:2000
Butt Nasim. “Sains & Masyarakat Islam”. Pustaka Hidayah. Sukaluyu:2001
Cardoso Gomes Faustino. “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Andi. Yogyakarta:1995
Irfan Mohammad. “Membangun Visi Baru Bernegara”. Fariz Putra Perdana. Jakarta:2000
O. Kattsoff Louis. “Pengantar Filsafat”. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta:1992
Shihab M. Quraish. “Membumikan Al-Quran”. Mizan. Bandung:1994

No comments:

Post a Comment